P E N D A H U L U A N
Kalau Apoteker
boleh berkomunikasi dengan pasien, apakah akan membingungkan pasien dandapat
menganggu hubungan pasien dengan dokter yang merawatnya. Selama ini tidak
banyak masalah-masalah mengenai obat yang dijumpai di bangsal dan cukup
diselesaikan oleh perawatdan nasehat dokter. Kehadiran Apoteker akan menambah
biaya pengeluaran bagi Rumah Sakityang selama ini sudah dirasakan berat oleh
pasien dan rumah sakit. Apoteker tidak memiliki pengalaman klinis,
keadaan ini akan menyulitkan komunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya.Apakah
yang akan dilakukan oleh Apoteker apabila menjumpai pengobatan yang dianggap
tidak rasional? Inilah beberapa komentar yang sering didengar di antara
perawat dan dokter ketika pengenalan program pelayanan farmasi klinis
disosialisasikan di rumah sakit. Begitu asing dan penuh pertanyaan
bagi tenaga kesehatan lainnya di rumah sakit yang selama ini hanya
sebataslayanan farmasi produk (perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian).
Farmasi berasal
dari kata “PHARMACON” yang berarti obat atau racun. Sedangkan pengertian
farmasi adalah suatu profesi di bidang kesehatan yang meliputi
kegiatan-kegiatan di bidang penemuan, pengembangan, produksi, pengolahan,
peracikan, dan distribusi obat.
Tanggung jawab
seorang ahli farmasi adalah bertanggung jawab atas kesehatan dan keselamatan
manusia/pasien yang membutuhkannya.
Dalam ilmu
farmasi ada empat bidang yang dipelajari, yaitu farmasi klinik, farmasi
industri, farmasi sains, dan farmasi obat tradisional.
Kemampuan
penunjang yang harus dimiliki adalah senang dan familiar dengan fisika, kimia,
biologi, dan matematika; ketelitian dan kecermatan; hapalan dan kemampuan
analisa; dan suka bekerjadi laboraturium.
Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan
bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan
digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan
mengenai identifikasi, pemilahan, aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan,
analisis, dan pembakuan bahan obat dan sediaan obat. Pengetahuan kefarmasian
mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui
resep dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain
yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada
pemakai.
Sebagian besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan
menjadi produk yang dikelola dan didistribusikan secara professional bagi yang
membutuhkannya. Pengetahuan farmasi disampaikan secara selektif kepada tenaga
professional dalam bidang kesehatan dan kepada orang awam dan masyarakat umum
agar pengetahuan mengenai obat dan produk obat dapat memberikan sumbangan nyata
bagi kesehatan perorangan dan kesejahteraan umum masyarakat.
c. Perkembangan farmasi
Sudah terjadi perubahan pekerjaan kefarmasian di apotek dan peranan apoteker
lambat laun berubah dari peracik (compunder) dan supplier sediaan farmasi ke
arah pemberian pelayanan dan informasi dan akhirnya berubah lagi sebagai
pemberi kepedulian pada pasien. Disamping itu, ditambah lagi tugas seorang
apoteker adalah memberikan obat yang layak lebih efektif, lebih aman serta
memuaskan pasien. Pendekatan cara ini disebut dengan pharmaceutical care
(asuhan kefarmasian)
Daftar
Singkatan Latin dalam Resep Dokter –
Dokter menulis resep obat untuk pasiennya menggunakan singkatan bahasa latin
yang sudah lazim. Akan tetapi, pada orang awam hal ini terlihat lebih sulit
dimengerti karena bahasanya yang lain daripada yang lain.
Contoh dari singkatan atau
nama latin dalam kefarmasian :
·
R/ R ecipe ambillah
·
m.f.l.a. misce
fac lege artis campur dan buatlah menurut
cara semestinya· pulv pulveres serbuk terbagi(puyer)
· d.t.d da tales dosis berikan sebanyak dosis tersebut
· No numero sejumlah
· S signa tandailah
· 3dd.pulv.I ter de die pulveres I 3xsehari 1 puyer
Begitu banyaknya resep obat yang masuk ke suatu
apotek, baik itu obat bebas, bebas terbatas, keras, Narkotika dan psikotropika,
maka pihak apotek perlu melakukan pengelolaan pada resep obat yang diterima.
Berikut adalah pengelolaannya.
A . Pengelolaan Obat Wajib Apotek (Owa)
Apoteker dapat menyerahkan Obat Keras tanpa resep dokter kepada pasien. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek. Adapun latar belakang dari keputusan Menteri Kesehatan tersebut adalah :
1)Meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional.
2)Meningkatkan peran apoteker dalam KIE.
Oleh karena itu perlu ditetapkan keputusan menteri kesehatan tentang obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter di apotek. Hal ini tercantum dalam Permenkes No. 919/Menkes/Per/1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep, yaitu :
1)Tidak dikontraindikasikan untuk wanita hamil, anak dibawah 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2)Tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit.
3)Penggunaan tidak memerlukan cara/alat khusus yang harus dilakukan oleh/bantuan tenaga kesehatan.
4)Untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
5)Memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan.
A . Pengelolaan Obat Wajib Apotek (Owa)
Apoteker dapat menyerahkan Obat Keras tanpa resep dokter kepada pasien. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek. Adapun latar belakang dari keputusan Menteri Kesehatan tersebut adalah :
1)Meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional.
2)Meningkatkan peran apoteker dalam KIE.
Oleh karena itu perlu ditetapkan keputusan menteri kesehatan tentang obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter di apotek. Hal ini tercantum dalam Permenkes No. 919/Menkes/Per/1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep, yaitu :
1)Tidak dikontraindikasikan untuk wanita hamil, anak dibawah 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2)Tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit.
3)Penggunaan tidak memerlukan cara/alat khusus yang harus dilakukan oleh/bantuan tenaga kesehatan.
4)Untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
5)Memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam keputusan ini, pelayanan OWA yang dilakukan
oleh apoteker harus memenuhi cara dan ketentuan, diantaranya sebagai berikut :
1)Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien
2)Membuat catatan pasien dan obat yang diberikan
Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakai, kontra indikasi, efek samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan pasien.
B. Pengelolaan Narkotika Dan Psikotropika
Tujuan diadakannya pengelolaan narkotika dan psikotropika adalah untuk mencegah penyalahgunaan obat narkotika dan psikotropika. Sehingga obat-obat narkotika dan psikotropika harus ditangani secara khusus.
1)Narkotika
Narkotika berdasarkan UU Kesehatan No. 2 tahun 1997 pasal 1, adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
a)Pengeluaran Narkotika
Narkotika hanya diberikan kepada pasien yang membawa resep dokter. Resep yang terdapat narkotika diberi tanda garis bawah berwarna merah kemudian dipisahkan untuk dicatat dalam buku register narkotika. Pencatatan meliputi tanggal, nomor resep, tanggal pengeluaran, jumlah obat, nama pasien, alamat pasien, dan nama dokter. Dilakukan pencatatan tersendiri untuk masing-masing nama obat narkotika. Untuk setiap pengeluaran narkotika dicatat dalam kartu stelling, kemudian dicatat pada buku narkotika yang digunakan sebagai pedoman dalam pembuatan laporan bulanan yang dikirim ke Dinas Kesehatan Propinsi, Balai Besar POM Propinsi, Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi dan sebagai arsip yang dilaporkan setiap tanggal 10 tiap bulan. Untuk setiap penggunaan obat tersebut dicatat jumlah pengeluaran dan sisa yang ada, jika ada perbedaan dilakukan pengontrolan lebih lanjut. Hal ini untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan obat.
b)Pemusnahan Narkotika
Sesuai dengan pasal 60 dan 61 UU No. 22 tahun 1997 pemusnahan narkotika harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
(1)Dikarenakan obat kadaluwarsa
(2)Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan untuk pelayanan kesehatan
(3)Dilakukan dengan menggunakan berita acara yang memuat:
(a)Nama, jenis, sifat dan jumlah
(b)Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun.
(c)Tanda tangan dan identitas pelaksana dan pejabat yang menyaksikan (ditunjuk oleh MenKes).
(4)Ketentuan lebih lanjut syarat dan tata cara pemusnahan diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
c)Pelaporan
Laporan penggunaan narkotika setiap bulannya dikirim ke Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial kabupaten/kota dan dibuat tembusan ke Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial propinsi, Balai Besar POM dan untuk arsip apotek. Pelaporan selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulannya. Laporan bulanan narkotika berisi nomor urut, nama sediaan, satuan, jumlah pada awal bulan, pemasukan, pengeluaran, dan persediaan akhir bulan serta keterangan. Khusus untuk penggunaan morphin, pethidin, dan derivatnya dilaporkan dalam lembar tersendiri disertai dengan nama dan alamat pasien serta nama dan alamat dokter.
2)Psikotropika
UU No.5 tahun 1997 tentang psikotropika menyatakan bahwa psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintesa yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Berdasarkan UU No.5 Tahun 1997, pasal 3 tentang Psikotropika, tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah:
a)Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan.
b)Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropik.
c)Memberantas peredaran gelap psikotropik
(1)Pengadaan
Menurut UU No.5 tahun 1997 pemesanan psikotropika menggunakan surat pesanan yang telah ditandatangani oleh apoteker kepada PBF atau pabrik obat. Penyerahan psikotropika oleh apoteker hanya dapat dilakukan untuk apotek lain, Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Pengobatan, dokter dan pelayanan resep dokter
(2)Penyimpanan
Penyimpanan obat golongan psikotropika belum diatur oleh peraturan perundang-undangan. Obat-obat psikotropik cenderung disalahgunakan, maka disarankan penyimpanan obat-obat golongan psikotropika diletakan tersendiri dalam rak atau lemari khusus.
(3)Pengeluaran
Penggunan psikotropika perlu dilakukan monitoring dengan mencatat resep-resep yang berisi psikotropika dalam buku register psikotropika yang berisi nomor, nama sediaan, satuan, persediaan awal, jumlah pemasukan, nama PBF, nomor faktur PBF, jumlah pengeluaran, persediaan akhir, nama pasien dan nama dokter.
Penyerahan psikotropika menurut pasal 14 UU No. 5 tahun 1997:
a)Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan dokter.
b)Penyerahan psikotropik oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
c)Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
d)Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
e)Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal:
(1)Menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan.
(2)Menolong orang sakit dalam keadaan darurat.
(3)Menjalankan tugas di daerah terpencil.
f)Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat diperoleh dari apotek.
(4)Pemusnahan
Pemusnahan psikotropika dilakukan karena:
(a)Kadaluarsa
(b)Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan.
(c)Dilakukan dengan pembuatan berita acara yang memuat: nama, jenis, sifat dan jumlah, keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun, tanda tangan dan identitas pelaksana dan pejabat yang menyaksikan (ditunjuk MenKes).
(5)Laporan
Laporan penggunaan psikotropika dikirim kepada Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Balai Besar POM , dan untuk arsip apotek. Pelaporan selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulannya. Laporan bulanan psikotropika berisi nomor urut, nama sediaan jadi (paten), satuan, jumlah awal bulan, pemasukan, pengeluaran, persediaan akhir bulan serta keterangan.
c. Pengelolaan Obat Ed
Obat-obat yang rusak dan kadaluarsa merupakan kerugian bagi apotek, oleh karenanya diperlukan pengelolaan agar jumlahnya tidak terlalu besar. Obat-obat yang rusak akan dimusnahkan karena tidak dapat digunakan dan tidak dapat dikembalikan lagi ke PBF.
Obat kadaluarsa yang dibeli oleh apotek dapat dikembalikan ke PBF sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara kedua belah pihak. Batas waktu pengembalian obat yang kadaluarsa yang ditetapkan oleh PBF 3-4 bulan sebelum tanggal kadaluarsa, tetapi ada pula yang bertepatan dengan waktu kadaluarsanya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MenKes/Per/X/1993 pasal 12 ayat (2), menyebutkan bahwa obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Pada pasal 13 menyebutkan bahwa pemusnahan yang dimaksud dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pengganti, dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek yang bersangkutan, disaksikan oleh petugas yang ditunjuk Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Pada pemusnahan dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap lima yang ditandatangani oleh Apoteker Pengelola atau Apoteker Pengganti dan petugas Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Pemusnahan obat-obat narkotika dan psikotropika yang sudah kadaluarsa dilaksanakan oleh apoteker dengan disaksikan oleh petugas Dinas Kesehatan dan sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek. Sedangkan untuk obat non narkotika-psikotropika dilaksanakan oleh apoteker dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek.
1)Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien
2)Membuat catatan pasien dan obat yang diberikan
Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakai, kontra indikasi, efek samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan pasien.
B. Pengelolaan Narkotika Dan Psikotropika
Tujuan diadakannya pengelolaan narkotika dan psikotropika adalah untuk mencegah penyalahgunaan obat narkotika dan psikotropika. Sehingga obat-obat narkotika dan psikotropika harus ditangani secara khusus.
1)Narkotika
Narkotika berdasarkan UU Kesehatan No. 2 tahun 1997 pasal 1, adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
a)Pengeluaran Narkotika
Narkotika hanya diberikan kepada pasien yang membawa resep dokter. Resep yang terdapat narkotika diberi tanda garis bawah berwarna merah kemudian dipisahkan untuk dicatat dalam buku register narkotika. Pencatatan meliputi tanggal, nomor resep, tanggal pengeluaran, jumlah obat, nama pasien, alamat pasien, dan nama dokter. Dilakukan pencatatan tersendiri untuk masing-masing nama obat narkotika. Untuk setiap pengeluaran narkotika dicatat dalam kartu stelling, kemudian dicatat pada buku narkotika yang digunakan sebagai pedoman dalam pembuatan laporan bulanan yang dikirim ke Dinas Kesehatan Propinsi, Balai Besar POM Propinsi, Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi dan sebagai arsip yang dilaporkan setiap tanggal 10 tiap bulan. Untuk setiap penggunaan obat tersebut dicatat jumlah pengeluaran dan sisa yang ada, jika ada perbedaan dilakukan pengontrolan lebih lanjut. Hal ini untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan obat.
b)Pemusnahan Narkotika
Sesuai dengan pasal 60 dan 61 UU No. 22 tahun 1997 pemusnahan narkotika harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
(1)Dikarenakan obat kadaluwarsa
(2)Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan untuk pelayanan kesehatan
(3)Dilakukan dengan menggunakan berita acara yang memuat:
(a)Nama, jenis, sifat dan jumlah
(b)Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun.
(c)Tanda tangan dan identitas pelaksana dan pejabat yang menyaksikan (ditunjuk oleh MenKes).
(4)Ketentuan lebih lanjut syarat dan tata cara pemusnahan diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
c)Pelaporan
Laporan penggunaan narkotika setiap bulannya dikirim ke Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial kabupaten/kota dan dibuat tembusan ke Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial propinsi, Balai Besar POM dan untuk arsip apotek. Pelaporan selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulannya. Laporan bulanan narkotika berisi nomor urut, nama sediaan, satuan, jumlah pada awal bulan, pemasukan, pengeluaran, dan persediaan akhir bulan serta keterangan. Khusus untuk penggunaan morphin, pethidin, dan derivatnya dilaporkan dalam lembar tersendiri disertai dengan nama dan alamat pasien serta nama dan alamat dokter.
2)Psikotropika
UU No.5 tahun 1997 tentang psikotropika menyatakan bahwa psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintesa yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Berdasarkan UU No.5 Tahun 1997, pasal 3 tentang Psikotropika, tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah:
a)Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan.
b)Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropik.
c)Memberantas peredaran gelap psikotropik
(1)Pengadaan
Menurut UU No.5 tahun 1997 pemesanan psikotropika menggunakan surat pesanan yang telah ditandatangani oleh apoteker kepada PBF atau pabrik obat. Penyerahan psikotropika oleh apoteker hanya dapat dilakukan untuk apotek lain, Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Pengobatan, dokter dan pelayanan resep dokter
(2)Penyimpanan
Penyimpanan obat golongan psikotropika belum diatur oleh peraturan perundang-undangan. Obat-obat psikotropik cenderung disalahgunakan, maka disarankan penyimpanan obat-obat golongan psikotropika diletakan tersendiri dalam rak atau lemari khusus.
(3)Pengeluaran
Penggunan psikotropika perlu dilakukan monitoring dengan mencatat resep-resep yang berisi psikotropika dalam buku register psikotropika yang berisi nomor, nama sediaan, satuan, persediaan awal, jumlah pemasukan, nama PBF, nomor faktur PBF, jumlah pengeluaran, persediaan akhir, nama pasien dan nama dokter.
Penyerahan psikotropika menurut pasal 14 UU No. 5 tahun 1997:
a)Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan dokter.
b)Penyerahan psikotropik oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
c)Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
d)Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
e)Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal:
(1)Menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan.
(2)Menolong orang sakit dalam keadaan darurat.
(3)Menjalankan tugas di daerah terpencil.
f)Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat diperoleh dari apotek.
(4)Pemusnahan
Pemusnahan psikotropika dilakukan karena:
(a)Kadaluarsa
(b)Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan.
(c)Dilakukan dengan pembuatan berita acara yang memuat: nama, jenis, sifat dan jumlah, keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun, tanda tangan dan identitas pelaksana dan pejabat yang menyaksikan (ditunjuk MenKes).
(5)Laporan
Laporan penggunaan psikotropika dikirim kepada Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Balai Besar POM , dan untuk arsip apotek. Pelaporan selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulannya. Laporan bulanan psikotropika berisi nomor urut, nama sediaan jadi (paten), satuan, jumlah awal bulan, pemasukan, pengeluaran, persediaan akhir bulan serta keterangan.
c. Pengelolaan Obat Ed
Obat-obat yang rusak dan kadaluarsa merupakan kerugian bagi apotek, oleh karenanya diperlukan pengelolaan agar jumlahnya tidak terlalu besar. Obat-obat yang rusak akan dimusnahkan karena tidak dapat digunakan dan tidak dapat dikembalikan lagi ke PBF.
Obat kadaluarsa yang dibeli oleh apotek dapat dikembalikan ke PBF sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara kedua belah pihak. Batas waktu pengembalian obat yang kadaluarsa yang ditetapkan oleh PBF 3-4 bulan sebelum tanggal kadaluarsa, tetapi ada pula yang bertepatan dengan waktu kadaluarsanya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MenKes/Per/X/1993 pasal 12 ayat (2), menyebutkan bahwa obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Pada pasal 13 menyebutkan bahwa pemusnahan yang dimaksud dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pengganti, dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek yang bersangkutan, disaksikan oleh petugas yang ditunjuk Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Pada pemusnahan dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap lima yang ditandatangani oleh Apoteker Pengelola atau Apoteker Pengganti dan petugas Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Pemusnahan obat-obat narkotika dan psikotropika yang sudah kadaluarsa dilaksanakan oleh apoteker dengan disaksikan oleh petugas Dinas Kesehatan dan sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek. Sedangkan untuk obat non narkotika-psikotropika dilaksanakan oleh apoteker dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek.
f. Penglolahan apotik
Pengelolaan
apotek merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukanoleh seorang apoteker
dalam rangka memenuhi tugas dan fungsi apotek.Pengelolaan apotek sepenuhnya
berada ditangan apoteker, oleh karena ituapoteker harus mengelola secara
efektif sehingga obat yang disalurkankepada masyarakat akan lebih dapat
dipertanggung jawabkan, karenakualitas dan keamanannya selalu terjaga.
Pengelolaan apotek dibedakanatas:
a. Pengelolaan teknis farmasiBerdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
No.1332/Menkes/SK/2002,Bab VI pasal 10, dibidang kefarmasian pengelolaan apotek
meliputi:
1)Pembuatan, pengelolaan,
peracikan, perubahan bentuk,pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat
atau bahan obat
2)Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalanfarmasi
lainnya
3)Pelayanan informasi mengenai
perbekalan farmasi yang meliputi:
a)Pelayanan informasi tentang
obat dan perbekalan farmasilainnya yang diberikan baik kepada dokter atau
tenagakesehatan lainnya maupun kepada
masyarakat
b)Pengamatan dan pelaporan
informasi mengenai khasiat,keamanan, bahaya, mutu obat dan perbekalan
lainnya.Hal lainnya yang harus diperhatikan dalam pengelolaan apotek
adalah:
1)Apoteker berkewajiban
menyediakan, menyimpan danmenyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik
dankeabsahannya terjamin
2)Obat dan perbekalan farmasi lainnya
yang karena suatu hal tidak dapat digunakan atau dilarang digunakan, harus
dimusnahkandengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang
telahditetapkan oleh BPOM.
b. pengelolaan non teknis farmasi
Pengelolaan ini meliputi semua
kegiatan administrasi, keuangan,personalia, kegiatan material (arus barang) dan
bidang lainnya yangberhubungan dengan apotek.
g. Permasalahan R/
Pengertian umum Resep yaitu
Permintaan tertulis dari dr, drg, drh kepadaApt untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tertentu
dan menyerahkannya kepada penderita.
· dr(umum+spesialis) : tak ada pembatasan jenis obat
· drg: pembatasan jenis obat untuk penyakitgigi
· drh: tak ada pembatasan jenis obat, hanyauntuk hewan
Bagian-Bagian Resep
· Inscriptio:identitas prescriberkota dan tanggal reseptanda R/
· Praescriptio: jenis dan jumlah obat(Remedium Cardinale, R.ajuvan,Corigens,Vehikulum)cara pembuatan atau BSO
· Signatura:aturan pakai (signa)identitas pasien
· Subscriptio: paraf
prescribertanda tangan (jika Inj.Narkotika)
h. Farmakope
Farmakope dapat diartikan sebagai
Buku resmi yangditetapkan hukum dan memuat standarisasi obat-obat penting
serta persyaratannya tentang identitas, kadar kemurnian dsb. Begitu
pula metode-metode analisa dan resep-resep sediaan farmasi. Di dalamFarmakope
Indonesiadicantumkan pula nama lain, nama generik dannama
kimia.
Nama latin adalah nama obat dalam
ejaan latin.
Nama Generik (International
Non-proprieatary name / INN) adalah nama umum yang disemua negara
tanpa melanggar hak patent yang berlaku untuk obat tersebut.
Nama kimia adalah nama obat
yang didasarkan nama unsur-unsur kimia yang membentuknya.Selain buku
Farmakope, juga digunakan secara khusus buku lain antara lain Formularium
Nasional dan buku Informasi Spesialis Obat (ISO) yang memuat nama-nama patent
dan atau spesialit. Obat patent ialah obat produk dari suatuperusahaan
dengan nama khas yang dilindungi hukum.
i. Nama obat
Obat yang dipasarkan tanpa resep dokter atau dikenal dengan nama OTC (Over
the Counter) dimaksudkan untuk menangani penyakit-penyakit simtomatis ringan
yang banyak diderita masyarakat luas yang penanganannya dapat dilakukan sendiri
oleh penderita. Praktik seperti ini dikenal dengan nama self medication
(penanganan sendiri).
OBAT BEBAS
Obat bebas dapat dijual bebas di warung kelontong, toko obat berizin serta apotek. Dalam pemakaiannya, penderita dapat membeli dalam jumlah sangat sedikit saat obat diperlukan, jenis zat aktif pada obat golongan ini relatif aman sehingga pemakaiannya tidak memerlukan pengawasan tenaga medic selama diminum sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan obat. Oleh karena itu, sebaiknya obat golongan ini tetap dibeli bersama kemasannya. Obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna hijau di Indonesia.Yang termasuk golongan obat ini: obat analgetik/pain killer, vitamin dan mineral. Di Australia obat-obatan herbal dan homeopati termasuk golongan ini, sedangkan di Indonesia obat alami digolongkan sebagai Obat Tradisional (TR) bukan Obat Bebas (OB).
Obat bebas dapat dijual bebas di warung kelontong, toko obat berizin serta apotek. Dalam pemakaiannya, penderita dapat membeli dalam jumlah sangat sedikit saat obat diperlukan, jenis zat aktif pada obat golongan ini relatif aman sehingga pemakaiannya tidak memerlukan pengawasan tenaga medic selama diminum sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan obat. Oleh karena itu, sebaiknya obat golongan ini tetap dibeli bersama kemasannya. Obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna hijau di Indonesia.Yang termasuk golongan obat ini: obat analgetik/pain killer, vitamin dan mineral. Di Australia obat-obatan herbal dan homeopati termasuk golongan ini, sedangkan di Indonesia obat alami digolongkan sebagai Obat Tradisional (TR) bukan Obat Bebas (OB).
OBAT BEBAS TERBATAS
Seharusnya obat jenis ini hanya dapat dijual bebas di toko obat berizin (karena dipegang seorang Asisten Apoteker (AA) serta apotek (yang hanya boleh beroperasi bila ada Apoteker Pengelola Apotek (APA) karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat membeli Obat Bebas Terbatas (OBT). Di indonesia golongan obat ini ditandai dengan R (bersama dengan golongan obat dengan resep). Contohnya : pain relief, obat batuk, obat pilek dan krim antiseptik. Obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna biru, disertai tanda peringatan dalam kemasannya.
Seharusnya obat jenis ini hanya dapat dijual bebas di toko obat berizin (karena dipegang seorang Asisten Apoteker (AA) serta apotek (yang hanya boleh beroperasi bila ada Apoteker Pengelola Apotek (APA) karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat membeli Obat Bebas Terbatas (OBT). Di indonesia golongan obat ini ditandai dengan R (bersama dengan golongan obat dengan resep). Contohnya : pain relief, obat batuk, obat pilek dan krim antiseptik. Obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna biru, disertai tanda peringatan dalam kemasannya.
Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk
pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis,
terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan
tersedia pada unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi
dan tingkatnya.
Konsep Obat Esensial di Indonesia mulai diperkenalkan dengan
dikeluarkannya Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang
pertama tahun 1980, dan dengan terbitnya Kebijakan Obat Nasional
pada tahun 1983. DOEN direvisi secara berkala setiap 3-4 tahun.
DOEN yang terbit sekarang ini merupakan revisi tahun
2008. Komitmen pemerintah melakukan revisi berkala merupakan
prestasi tersendiri.
Dosis obat merupakan faktor penting, karena baik kekurangan atau kelebihan
dosis akan menghasilkan efek yang tidak diinginkan, bahkan sering membahayakan.
Yang dimaksud dosis suatu obat adalah dosis pemakaian sekali, per oral
untuk orang dewasa, kalau kalau yang dimaksud bukan dosis tersebut diatas harus
dengan keterangan yang jelas. Misalnya pemakaian sehari, dosis untuk anak,
dosis per injeksi, dan seterusnya.
Macam – macam Dosis
1. Dosis Maksimum ( DM ) adalah dosis / takaran maksimum / terbanyak
yang dapat diberikan (berefek terapi) tanpa menimbulkan bahaya.
2. Dosis lazim ( DL ) adalah dosis yang tercantum dalam literatur
merupakan dosis yang lazimnya dapat menyembuhkan. Dosis lazim dan dosis
maksimum terdapat dalam FI ed III, juga Farmakope lain. Tetapi DM anak tidak
terdapat dalam literatur. Maka DM untuk anak dapat dihitung dengan
membandingkan kebutuhan anak terhadap dosis maksimum dewasa.
Pada kompetensi menerapkan pembuatan sediaan obat sesuai resep dokter di
bawah pengawasan apoteker proses perhitungan dosis lazim menjadi bagian
yang sangat penting karena semua bahan obat/ obat harus diperhitungkan Dosis
Lazimnya sesuai dengan umur pasien dan dibandingkan dengan dosis obat yang
digunakan pasien sesuai resep dokter. Pemakaian/ dosis obat untuk pasien harus
tepat atau sesuai dengan Dosis Lazim supaya efek terapi tercapai, jika pada
perhitungan dosis ternyata pemakaian obatnya kurang atau lebih dari DL maka
harus ditanyakan kepada dokter pembuat resep karena ada banyak hal yang
mempengaruhi dosis yang diberikan pada pasien, apabila dokter berkehendak maka
resep dapat diracik, sebaliknya jika dokter menghendaki supaya pemakaiannya
ditepatkan supaya efek terapi tercapai maka Apoteker/ Asisten Apoteker harus
dapat melakukan perhitungan untuk melakukan penyesuaian dosis sehingga jumlah
obat akan diganti oleh dokter supaya berefek terapi optimal untu pasien.
3. Dosis toksik adalah takaran obat dalam keadaan biasa yang dapat
menyebabkan keracunan pada penderita.
4. Dosis Letalis adalah takaran obat yang dalam keadaan biasa dapat
menyebabkan kematian pada penderita, dosis letalis terdiri dari:
a. LD 50 : takaran yang menyebabkan kematian pada 50% hewan
percobaan.
b. LD 100 : takaran yang menyebabkan kematian pada 100%
hewan percobaan.
Sumber: Dasar Dasar Ilmu Farmasi
Oleh : Hartadi S., Farm M.Kes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar